Jumat, 22 Februari 2013

Cegah Banjir dan Kekeringan

JAKARTA (Media): Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus konsisten dalam menerapkan peraturan pembangunan rumah yang wajib menyediakan sumur resapan. Dengan sumur resapan masyarakat bisa terhindar dari bencana banjir dan kekeringan.
Pendapat itu disampaikan Suwardi dari Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Air Ciliwung-Cisadane, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, kepada wartawan, kemarin di sela-sela workshop Strategi dan Pengembangan Teknologi Waduk Resapan untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan.
Workshop yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi itu dimaksudkan untuk mengatasi masalah bencana banjir dan kekeringan dengan pendekatan teknologi.
“Setiap orang yang membangun rumah, di dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah tertuang kewajiban untuk membangun sumur resapan. Itu sudah diatur dalam Perda Pemprov DKI Jakarta,” kata Suwardi.
Pembangunan sumur resapan, lanjutnya, merupakan teknologi sederhana untuk atasi banjir. Biasanya dalam Koefisien Dasar Bangunan (KDB) akan dihitung berapa persen untuk membangun sumur resapan ini. “Ukuran sumur resapan pun berbeda-beda tergantung dari lokasi bangunannya. Tinggal bagaimana kemauan si pemilik.”
Suwardi menambahkan, biasanya pembangunan rumah tanpa sumur resapan tidak ada IMB-nya. “Saya sendiri tidak tahu bagaimana pemda dalam mengatasi masalah ini. Sumur resapan ini bisa dibangun menyesuaikan keadaan. Bangunannya mirip sumur. Contohnya, ukurannya panjang satu meter, lebar satu meter, dan kedalaman tiga meter sehingga daya tampungnya tiga kubik. Sumur ini kemudian ditutup.”
Pada saat musim hujan, kata Suwardi, air akan masuk ke dalam sumur resapan ini kemudian diserap menjadi air tanah. Pada musim kemarau air dari sumur resapan ini akan menjadi logistik bagi sumur-sumur pompa sehingga setiap rumah tangga tidak terjadi krisis air.
Suwardi memperkirakan apabila terdapat dua juta rumah yang membangun sumur resapan dengan daya tampung tiga kubik maka air yang tertampung di sumur resapan ini sebesar 6 juta kubik.
“Ketika musim hujan masyarakat telah menampung enam juta kubik air. Dengan demikian telah mengurangi jumlah air yang menggenangi permukiman.”
Di Jakarta, menurut Suwardi, hanya Jakarta Utara yang tidak bisa dibuat sumur resapan, sebab akifer atau lapisan tanah yang menembus air cukup dangkal, yakni sekitar 1 meter. Pada akifer ini akan terdapat lapisan batu dan pasir. “Karena sangat dangkal tidak bisa dibuat sumur resapan. Berbeda dengan wilayah Jakarta lainnya yang akifernya bisa mencapai 10 meter. Jadi tidak selamanya air di darat itu merugikan.”
Sementara itu, Sutopo Purwo Nugroho dan Asep Karsidi, peneliti Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) memprediksi, sampai 2020 ketersediaan air masih mencukupi untuk pemenuhan seluruh kebutuhan air, seperti keperluan rumah tangga, perkotaan, irigasi, dan lainnya. Namun secara per pulau, jelas mereka, ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi, khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
“Surplus air hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar lima bulan, sedangkan pada musim kemarau terjadi defisit selama tujuh bulan. Meskipun terjadi defisit air saat musim kemarau, namun pada musim hujan, air permukaan sangat melimpah ketersediaannya sehingga menimbulkan banjir.”
Lebih lanjut, Sutopo menjelaskan secara nasional ketersediaan air dari total aliran sungai di Indonesia selama setahun mencapai 1.957.205 juta meter kubik (m3), sementara kebutuhan total pada 2003 mencapai 112.275 juta m3. Proyeksi 2020 mencapai 127.707 juta m3. Kebutuhan air dari tahun ke tahun pun semakin meningkat, namun tidak diimbangi dengan kuantitas dan kualitas sumber daya air di Indonesia.
Rendahnya kualitas dan kuantitas air ini, menurut Teddy W Sudinda, peneliti BPPT disebabkan penggunaan lahan di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur) yang merupakan daerah resapan semakin bertambah luas. (Nda/V-1)
Sumber: Media Indonesia: 19 Maret 2004

DAFTAR ISI

Tidak ada komentar :

Posting Komentar